Pages

Senin, 08 Maret 2010

PENGRUSAKAN MANGROVE DELTA BUA-BUA ADALAH TINDAK PIDANA KEJAHATAN LINGKUNGAN

Aktivitas pengrusakan dan pendudukan kawasan hutan Mangrove Delta Bua-bua, Lingkungan Bua-bua Barat, Kepulauan Selayar telah menimbulkan dampak serius terhadap kondisi ekologi (daya dukung lingkungan) dan kondisi sosial masyarakat yang berada disekitar kawasan tersebut. Sejak pengrusakan hutan mangrove dilakukan oleh Muh. Natsir Ali dan H. Ali Gandong, tercatat sudah 2 kali bencana banjir melanda daerah tersebut. Pertama tanggal 9 Januari 2010 yang merendam 14 rumah warga dan kemudian tanggal 7 Februari 2010 dengan skalasi banjir yang lebih besar yang menggenangi lebih dari 250 rumah warga dan jalan raya. Jelas ini ini disebabkan oleh pembabatan hutan mangrove dan penimbunan sungai di delta Bua-bua

Polemik peristiwa pengrusakan mangrove ini berawal dari klaim kepemilikan tanah oleh HJ. ANDI RAJA yang kemudian dijual kepada MUH. NATSIR ALI. Penjualan hutan mangrove ini juga dilegitimasi oleh beberapa pihak yakni, Kepala Lingkungan Mangara Bombang, Lurah Benteng Utara dan Camat benteng. Pihak-pihak ini mengetahui tentang hak kepemilikan atas hutan tersebut, namun menjadi saksi atas proses jual beli hutan mangrove.

Para pihak yang memperjualbelikan dan merusak hutan mangrove ini nampaknya tidak tersentuh oleh hukum, sebab pihak Pemda Selayar dan Muspida setempat (SKPD terkait dan Polres Selayar) tidak melakukan tindakan apapun terkait peristiwa tersebut, meskipun Aliansi Peduli Delta Bua-bua telah melaporkannya secara resmi.

Secara hukum, klaim kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah terhadap hutan mangrove delta Bua-bua yang didasarkan pada Surat keterangan kepemilikan tanah, surat keterangan persetujuan ahli waris yang dimiliki oleh HJ. ANDI RAJA dan surat keterangan jual beli tanah yang ditandatangani oleh para pihak yang melakukan jual beli tidak dapat dibenarkan untuk mengalihkan fungsi dan mengalihkan hak kepemilikan atas hutan mangrove tersebut. Sebab tidak sah secara hukum karena :

1. Surat-surat yang dimaksud diatas tidak termasuk bukti surat kepemilikan tanah dan tidak terdapat bukti Surat penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang jika merupakan konversi dari Tanah negara atau Tanah Hak Pengelolaan

2. surat Surat Keterangan Jual Beli Tanah tidak termasuk AKTA JUAL BELI TANAH (PP RI No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)

Peristiwa pengrusakan terhadap hutan mangrove yang dilakukan oleh MUH. NATSIR ALI dan H.ALI GANDONG yang dimulai pada tanggal 7 Januari 2010 hingga Februari 2010 adalah bentuk nyata dari perbuatan melawan hukum, terutama UU No.41 Tahun 1999 Tentang kehutanan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Pada ke-dua UU ini dengan jelas menyatakan pelarangan dan mengenakan sanksi pidana bagi setiap orang yang MENGERJAKAN, MENGUSAHAKAN, MEMBAWA ALAT-ALAT BERAT, MENDUDUKI, MERAMBAH, MENEBANG DAN MERUSAK KAWASAN HUTAN. Atas pelanggaran terhadap ketentuan ini setiap orang terancam hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun.

Secara sederhana dalam kasus ini terdapat 2 bentuk tindak pidana yakni : 1. Telah terjadi tindak pidana pengrusakan, pendudukan hutan mangrove secara tidak sah dan 2. membuat, dan/ atau menggunakan surat (otentik) palsu (vide Pasal 263, Pasal 264 KUHPidana), memberikan keterangan palsu di atas surat otentik dan/ atau menggunakannya.

Olehnya, kami mendesak KLH SUMAPAPUA untuk serius menindaklanjuti laporan tindak pidana pengrusakan hutan mangrove dan mendesak KAPOLDA Sulselbar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan atas dugaan pemalsuan surat-surat tanah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar