Pages

Senin, 08 Maret 2010

Pembangunan DAM Gillireng Menggusur Hak Rakyat Atas Sumber-Sumber Kehidupannya

Rencana pembangunan Bendungan Paselloreng yang terletak di Desa Paselloreng dan Desa Arajang, Kecamatan Gillireng, Kabupaten Wajo ditujukan untuk pengembangan sumber daya air, khususnya melayani areal irigasi yang akan meningkatkan produktifitas pertanian. Pembangunan fisik proyek bendungan yang akan menelan anggaran sekitar 700 milyar ini oleh pemerintah daerah diharapkan dapat berjalan pada tahun 2010 ini. Bendungan Paselloreng yang berjarak 240 Km arah Utara Kota Makassar merupakan bendungan yang pembiayaannya selain dari APBD, juga akan diusulkan ke Japan International Cooperation Agency (JICA).
Proyek pembangunan yang diperkirakan akan menenggelamkan lahan seluas 1.324 Ha, dipastikan akan berdampak pada hak-hak ekonomi, sosial, budaya warga Desa Paselloreng dan berdampak besar terhadap lingkungan hidup, maka sangat penting dalam proses perencanaan, pengusulan serta pelaksanaan pembangunan DAM Paselloreng ini, melibatkan peran aktif seluruh warga masyarakat yang akan terkena dampak. Untuk itu sesuai dengan fakta fakta yang ada :
1. Bahwa Luas lahan yang terkena dampak pembangunan bendungan Paselloreng, yang merupakan lahan-lahan produktif sebagai sumber penghidupan warga:
- Kebun: 1.169,46 Ha, Sawah: 333,38 Ha (2 kali produksi dalam setahun. Rumah-Toko-Gudang-Sekolah-Masjid-Puskesmas Pembantu-Balai Desa, Pasar, Lapangan (361 bangunan): 4,5 Ha. Total: 1.507,34 Ha.
- Jumlah tanaman yang terkena dampak ((Desa Paselloreng) : 940.269 batang/tanaman (Kakao, Kopi, Merica, Enau, Pisang, Salak, Kedondong, Nangka, Pinang, Bambu, Jambu Mente, Kemiri, Kayu Jati, Kayu Bitti, kayu Cendana, Kayu Bayam, Kayu Bakke, dll).
2. Bahwa di Desa Paselloreng memiliki jumlah penduduk 1978 jiwa (625 KK), yang tentu saja akan tergusur dari kampong halamannya dan berimplikasi pada hilangnya hak-hak social budaya warga Paselloreng.
3. Bahwa pembangunan bendungan Paselloreng akan berdampak besar terhadap lingkungan hidup dengan berubahnya bentang alam yang ada. Dan disisi lain analisis terhadap ekosistem pendukung untuk keberlanjutan DAM yang merupakan kawasan catchment area harus masuk dalam bagian dalam kajian dampak. Karena belajar dari bendungan bili-bili dan bendungan bakaru yang tidak bisa berfungsi maksimal akibat dari lemahnya analisis dampak dari kawasan penyangganya.
4. Bahwa dalam melakukan sosialisasi tidak adanya penyampaian informasi yang berimbang mengenai rencana pembangunan bendungan terkait dampak-dampak yang akan di timbulkan akibat pembangunan DAM. Mestinya kegagalan beberapa proyek DAM yang telah dilaksanakan dan berjalan tidak sesuai dengan fungsinya adalah sebuah pelajaran berharga yang harus diketahui oleh warga Paselloreng
5. Bahwa telah di lakukan pengukuran lahan area genangan di atas tanah masyarakat oleh PT. Catur Guna Sebagai konsultan rencana pembangunan DAM Gilireng. Pengukuran ini dihentikan oleh masyarakat.
6. Pada tanggal 4 Januari 2010 telah di adakan pertemuan antara masyarakat dan semua SKPD kab. Wajo di Paselloreng. Tidak ada kesepakatan yang terbangun. Masyarakat menyatakan menolak rencana pembangunan DAM.
7. Bahwa statement camat Gillireng di media massa paska eksposing Land Aquisition and Resettlement Action Plan (LARAP) pada tanggal 6 Februari 2010 yang menyatakan warga masyarakat Desa Paselloreng tidak ada masalah lagi dalam pembebasan lahan yang akan dilakukan dan menyatakan mendukung pembangunan DAM Paselloreng.

Untuk itu berdasarkan dari uraian fakta-fakta diatas, warga masyarakat Desa Paselloreng, secara tegas menyatakan sikap untuk menolak rencana pembangunan DAM Paselloreng.

UpDate perkembangan Advokasi:
- Bahwa pada tanggal 13 Februari 2010, telah dilakukan pertemuan Konsolidasi untuk penolakan pembangunan DAM Paselloreng di Kec.Gillireng-Sengkang yang dihadiri perwakilan warga dari Desa Paselloreng (H.Baba, A.Kasnadi, A.Junawi, A.Mustari) dan kawan-kawan dari WALHI Sulsel beserta LBHM. Kemudian hasil dari pertemuan tersebut, ditindak lanjuti dengan melakukan konfrensi pers dan roadshow ke media di Makassar pada tanggal 17 Februari 2010 dengan tujuan mengcounter statement pejabat di Kab.Wajo yang menyatakan tidak ada masalah dalam konteks pembebasan lahan yang akan dilakukan, dan menyatakan sikap menolak dengan tegas pembangunan DAM Paselloreng. Perwakilan Warga yang hadir : Andi Junawi, H. Baba , Andi Mustari, Latong, Andi Adi, Ansar, Andi Gancilu. Lembaga Pendukung : WALHI Sulsel, AMAN Sulsel, YLBHM

PENGRUSAKAN MANGROVE DELTA BUA-BUA ADALAH TINDAK PIDANA KEJAHATAN LINGKUNGAN

Aktivitas pengrusakan dan pendudukan kawasan hutan Mangrove Delta Bua-bua, Lingkungan Bua-bua Barat, Kepulauan Selayar telah menimbulkan dampak serius terhadap kondisi ekologi (daya dukung lingkungan) dan kondisi sosial masyarakat yang berada disekitar kawasan tersebut. Sejak pengrusakan hutan mangrove dilakukan oleh Muh. Natsir Ali dan H. Ali Gandong, tercatat sudah 2 kali bencana banjir melanda daerah tersebut. Pertama tanggal 9 Januari 2010 yang merendam 14 rumah warga dan kemudian tanggal 7 Februari 2010 dengan skalasi banjir yang lebih besar yang menggenangi lebih dari 250 rumah warga dan jalan raya. Jelas ini ini disebabkan oleh pembabatan hutan mangrove dan penimbunan sungai di delta Bua-bua

Polemik peristiwa pengrusakan mangrove ini berawal dari klaim kepemilikan tanah oleh HJ. ANDI RAJA yang kemudian dijual kepada MUH. NATSIR ALI. Penjualan hutan mangrove ini juga dilegitimasi oleh beberapa pihak yakni, Kepala Lingkungan Mangara Bombang, Lurah Benteng Utara dan Camat benteng. Pihak-pihak ini mengetahui tentang hak kepemilikan atas hutan tersebut, namun menjadi saksi atas proses jual beli hutan mangrove.

Para pihak yang memperjualbelikan dan merusak hutan mangrove ini nampaknya tidak tersentuh oleh hukum, sebab pihak Pemda Selayar dan Muspida setempat (SKPD terkait dan Polres Selayar) tidak melakukan tindakan apapun terkait peristiwa tersebut, meskipun Aliansi Peduli Delta Bua-bua telah melaporkannya secara resmi.

Secara hukum, klaim kepemilikan dan penguasaan hak atas tanah terhadap hutan mangrove delta Bua-bua yang didasarkan pada Surat keterangan kepemilikan tanah, surat keterangan persetujuan ahli waris yang dimiliki oleh HJ. ANDI RAJA dan surat keterangan jual beli tanah yang ditandatangani oleh para pihak yang melakukan jual beli tidak dapat dibenarkan untuk mengalihkan fungsi dan mengalihkan hak kepemilikan atas hutan mangrove tersebut. Sebab tidak sah secara hukum karena :

1. Surat-surat yang dimaksud diatas tidak termasuk bukti surat kepemilikan tanah dan tidak terdapat bukti Surat penetapan pemberian hak dari Pejabat yang berwenang jika merupakan konversi dari Tanah negara atau Tanah Hak Pengelolaan

2. surat Surat Keterangan Jual Beli Tanah tidak termasuk AKTA JUAL BELI TANAH (PP RI No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah)

Peristiwa pengrusakan terhadap hutan mangrove yang dilakukan oleh MUH. NATSIR ALI dan H.ALI GANDONG yang dimulai pada tanggal 7 Januari 2010 hingga Februari 2010 adalah bentuk nyata dari perbuatan melawan hukum, terutama UU No.41 Tahun 1999 Tentang kehutanan dan UU No. 32 Tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Hidup. Pada ke-dua UU ini dengan jelas menyatakan pelarangan dan mengenakan sanksi pidana bagi setiap orang yang MENGERJAKAN, MENGUSAHAKAN, MEMBAWA ALAT-ALAT BERAT, MENDUDUKI, MERAMBAH, MENEBANG DAN MERUSAK KAWASAN HUTAN. Atas pelanggaran terhadap ketentuan ini setiap orang terancam hukuman penjara minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun.

Secara sederhana dalam kasus ini terdapat 2 bentuk tindak pidana yakni : 1. Telah terjadi tindak pidana pengrusakan, pendudukan hutan mangrove secara tidak sah dan 2. membuat, dan/ atau menggunakan surat (otentik) palsu (vide Pasal 263, Pasal 264 KUHPidana), memberikan keterangan palsu di atas surat otentik dan/ atau menggunakannya.

Olehnya, kami mendesak KLH SUMAPAPUA untuk serius menindaklanjuti laporan tindak pidana pengrusakan hutan mangrove dan mendesak KAPOLDA Sulselbar untuk melakukan penyelidikan, penyidikan atas dugaan pemalsuan surat-surat tanah.

Salam Lestari

Selamat Datang...