Pages

Selasa, 11 Mei 2010

Masyarakat Gilireng melawan Pt. Energy Equity Epic Sengkang



Perjuangan Rakyat Gilireng bukan pertama kalinya. mereka memiliki sejarah perlawanan yang panjang melawan ketidakadilan. Dalam sejarah Gilireng tidak pernah tercatat, namun Gilireng adalah salah satu daerah yang tidak pernah bisa ditembus oleh penjajah termasuk penjajahan Belanda dan Jepang. Rakyat Gilireng memiliki persatuan yang kuat untuk melawan setiap ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa.
Keberadaan PT EEES bagi masyarakat tidak memberikan sumbangsih bagi kesejahteraan rakyat Gilireng. PT EEES tidak menjadi tamu yang baik bagi Gilireng, perusahaan sangat tertutup bagi orang luar dan tidak memenuhi tanggung jawab sosial dan tanggung jawab terhadap berkeberlangsungan lingkungan hidup.Dampak terhadap keberlangsungan ekosistem terjadi sejak pertama kali keberadaan PT EEES di Gilireng. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya merusak lingkungan sekitar EEES tapi berdampak pada keberlangsungan hidup rakyat gilireng. Rakyat Gilireng hingga saat ini mengalami kesulitan mengakses air bersih, sumur penduduk hanya terisi air di musim hujan. Sedangkan selebihnya penduduk harus membeli air di kecamatan lain. Kurangnya air tanah dan sungai mempengaruhi produktifitas pertanian. Sawah di kecamatan Gilireng adalah sawah tadah hujan yang bergantung pada musim dan air sungai. Namun 5 tahun terakhir produktifitas pertanian mengalami penurunan drastis. Sawah penduduk yang biasanya menghasilkan panen 2 kali setahun, dua tahun terakhir sebagian besar tak bisa digarap lagi. Hal ini berpengaruh pada tingkat kemiskin penduduk dan rentangnya warga terhadap berbagai penyakit.

PT EEES juga diindikasi tidak melakukan pengolahan limbah sesuai standar yang berlaku. Limbah gas mempengaruhi kualitas udara bersih. Pada musim hujan dan dini hari bau gas methana sangat menyengat penduduk. Penduduk di Desa Poleonro, desa Abbatireng, Desa Alausalo dan Desa Mamminasae, serta Kelurahan Gilireng mengaku sangat terganggu dengan bau gas yang di hasilkan perusahaan. Limbah cair perusahaan dialirkan ke sungai Jembatan Merah yang menjadi saksi sejarah perjuangan rakyat gilireng. Pada musim kemarau air sungai tersebut menjadi hitam dan berbau.

..........
Tahun 2005 terbentuk aliansi GAWAT (Gerakan Wajo Menggugat) yang terdiri lebih dari 26 organisasi kemahasiswaan, NGO dan rakyat Gilireng sendiri. Tuntutan mereka meminta DBH yang tidak pernah dibayarkan pemerintah sejak berdirinya perusahaan tersebut.
9 April 2010 ALMAMATER melakukan aksi di Fly Over menuntut transparansi tata kelola, pengrusakan ekosistem dan ekologi.
15 april 2010 aksi di DPRD Provinsi dan bertemu dengan 3 anggota Dewan dari fraksi Golkar, PKS dan .... dialog tersebut menghasilkan kesepakatan jika DPRD Provinsi sepakat untuk memediasi pertemuan antara Aliansi dengan BP Migas, Depkeu, Kementerian ESDM dan PT EEES. Anggota DPRD juga menyatakan mendukung perjuangan rakyat Gilireng dalam menuntut haknya. Selain di DPRD massa aksi juga bergerak ke kantor PT EEES di Graha Pena, sayangnya kantor tersebut belum berfungsi maksimal. Massa aksi hanya disambut oleh petugas keamanan Graha Pena.
26 april 2010 rakyat melakukan aksi di PT EEES menuntut enam poin transparansi dana bagi hasil, pembayaran dana bagi hasil sejak tahun 1995-2010, pembayaran CSR, penghentian pencemaran lingkungan, penerimaan tenaga kerja 50% dari masyarakat lokal, dan listrik gratis untuk rakyat gilireng. aksi yang diikuti oleh lebih dari 300 warga. Setelah melakukan negosiasi PT EEES akhirnya bersedia menemui pengunjuk rasa dengan mediasi Wakapolres. Dalam pertemuan tersebut PT EEES yang diwakili oleh Bambang SP menyepakati empat tuntutan. Sedangkan poin 1 dan 2 akan dibahas dalam pertemuan yang akan diadakan pada tanggal 29 april 2010. dalam dialog tersebut muncul segala kebohongan yang
29 april 2010 warga kembali mendatangi PT EEES untuk menuntut pertemuan yang dijanjikan oleh Bambang SP. Warga yang tergabung bertambah karena adanya simpati dari warga kecamatan lain yakni dari kecamatan tanasitolo, maniangpajo, sajoanging dan Kec.Keera. namun pada aksi ini pihak kepolisian tidak lagi mengizinkan massa untuk masuk ke halaman parkir PT EEES dan mengatakan jika Pihak PT EEES tidak ada di kantornya. Larangan ini memicu amarah massa. Sehingga mereka memaksa masuk ke halaman PT EEES. Massa akhirnya masuk ke dalam hingga melewati gerbang ke 2 menuju kantor PT EEES. Bambang tidak bersedia menemui massa karena tidak dapat memenuhi janjinya mempertemukan massa dengan pihak terkait lainnya. Ia kemudian melarikan diri lewat sawah menuju Polres Wajo. Anggota DPRD kab.Wajo yang kebetulan berada di Gilireng kemudian mendatangi PT EEES bersama Asistan I Bupati memediasi komunikasi dengan Presiden PT EEES Andi Riyanto. Perwakilan Aliansi memberi batas waktu hingga tanggal 1 mei 2010 dan melakukan pendudukan di PT EEES.
Massa aksi tak bisa berdiam lama di halaman kantor karena bau gas methana yang dihasilkan sangat menyengat dan membuat beberapa massa aksi mual-mual dan sesak napas. Massa aksi kemudian mendirikan tenda di halaman parkir. Polisi dan brimob dari polres Wajo, Polwil Bone, Polwil Pare dan Polda Sulsel terus berdatangan hingga mencapai 500an personil.
30 april 2010 massa masih menduduki PT EEES, di tempat terpisah di kantor Bupati Wajo PT EEES, dengan Depkeu dan BP MIGas serta aparat pemerintahan melakukan pertemuan tanpa melibatkan rakyat.
01 mei 2010 PT EEES menghentikan produksi dan karyawan meninggalkan PT EEES. Deadline yang diberikan kepada PT EEES tidak dipenuhi. Mereka kembali mangkir dari janjinya untuk bertemu dengan rakyat. Massa aksi akhirnya dibubarkan setelah kedatangan Bupati Wajo bersama Wakil ketua DPRD Wajo. Bupati berjanji akan memediasi pertemuan pada tanggal 6 mei 2010 di Kantor Bupati Wajo. Massa aksi sangat kecewa dengan sikap PT EEES yang ingkar janji.
04 mei 2010 Wakapolri berkunjung ke Wajo untuk bertemu dengan pihak PT EEES, dengan aparat terkait. Pada pertemuan dengan Wakapolri, Yusuf Manggabarani, hanya mengundang para Kepala Desa saja, tapi tidak bersama masyarakat. Pernyatan bahwa, masyarakat cukup diwakili dengan Kepala Desa-nya masing-masing, ini menunjukkan adanya upaya pembungkaman secara halus dari pihak Pemprov dan Pemkab. Pada dasarnya masyarakat menghormati dan menghargai terhadap para Kepala Desa-nya, namun, masyarakat berharap akan lebih baik, kalau masyarakat diikut-libatkan dalam pertemuan tersebut. Dan, dalam pertemuan dengan Wakapolri, tidak terjadi dialog. Begitupun dalam pertemuan tertutup yang dilakukan di ruang Pola kantor Bupati, bahkan Kepala Desa tak diizinkan masuk. Perwakilan dari Aliansi hanya 3 orang yang juga tidak membuka ruang dialog. Pertemuan ini sangat mengecewakan karena tidak ada hasil yang bisa menyelesaikan konflik.

Pada pertemuan hari Rabu, tanggal 5 Mei 2010, pukul 15.00 hingga selesai, yang difasilitasi oleh Pemprov dan Pemkab, hanya berlangsung sekitar 25 menit saja. Pertemuan tersebut terdiri dari dari unsur-unsur Muspida. Dalam pertemuan itu, rombongan Pemprov yang dipimpin langsung oleh Gubernur Syahrul Yasin Limpo. Juga tampak hadir Ketua DPRD Provinsi, HM Roem. Dijajaran Pemkab sendiri, diwakili langsung oleh Bupati Kab Wajo, Andi Burhanuddin Unru, DPRD Wajo Junaidi (wakil ketua DPRD Wajo). Dalam pertemuan itu, sekali lagi tampak tidak menghasilkan apa-apa. Pidato Syahrul Yasin Limpo, lebih mengeksplorasi keberhasilan-keberhasilan selama ini akan prestasi yang dicapainya. Sementara ruang untuk membahas permasalahan yang sesungguhnya, tidak begitu ter-respon. Dan, pertemuan itu, sesi dialog tidak terjadi. Di sisi lain, unsur masyarakat sekali lagi tidak dilibatkan.

Pada perkembangan selanjutnya, tindak lanjut pertemuan untuk penyelesaian konflik, yang sedianya untuk mempertemukan pihak yang terkait, seperti, BP-MIGAS, Depkeu, pihak PT. EEES, Pemprov, Pemkab dan masyarakat, juga mahasiswa dan ornop pemdamping. Akan melakukan pertemuan dalam rangka upaya penyelesaian konflik. Sedianya akan dilaksanakan pada hari Kamis, tanggal 6 Mei 2010 di Sengkang, Tapi, pelaksanaannya terundur dan tempat pelaksanaannya-pun dipindahkan di Jakarta.

Makassar Kekurangan 5.000 Hektar Ruang Terbuka Hijau


Kabar tentang degradasi lingkungan Kota Jakarta seperti yang dimuat Kompas 12 Juni 2007 yang berjudul ‘Intrusi Air Laut di Jakarta Terus Berlanjut’ dan Tempo 1 Maret 2009 ‘Krisis Air Tanah Jakarta Berbahaya’ memberikan pelajaran kepada warga kota –tidak hanya Kota Jakarta tetapi kita semua- akan bahaya yang ditimbulkan jika tidak mempedulikan persoalan lingkungan dan membiarkan degradasi kondosi ekologi kota terus berlanjut. Makassar yang mulai tumbuh menjadi kota megapolitan, juga mengalami kemunduran dalam hal kondisi ekologinya. “Jika pemerintah tidak melakukan pembenahan lingkungan seperti pertambahan RTH juga daerah resapan air, ditambah pengaruh iklim global yang mulai tidak seimbang, akan terjadi bencana ekologis seperti banjir besar dan berkurangnya ketersediaan air bersih untuk warga kota menjadi ancaman nyata”, papar Zulkarnain Yusuf, Direktur Walhi Sulsel.


Sebagai seorang yang melek hukum, Zulkarnain Yusuf tidak segan-segan mengutip berbagai peraturan-perundangan yang terkait dengan masalah lingkungan untuk dibenturkan dengan kenyataan asli di lapangan. Ditemui di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Sulsel di bilangan Hertasning, Makassar, pria berambut ikal ini dengan lugas memaparkan berbagai permasalahan lingkungan yang ada di Kota Makassar kepada wartawan VERSI Fakhri Samadi. Berikut petikan wawancara selengkapnya.

Bagaimana Anda melihat kondisi lingkungan Kota Makassar beberapa tahun belakangan ini?
Kondisinya jelas, yang pertama setiap tahun Kota Makassar selalu menjadi langganan banjir. Kedua jaminan akan udara bersih tak bisa dijamin 100% lagi karena begitu banyak polusi kendaraan bermotor dan beberapa industri yang berada di Kota Makassar seperti PT. Barawaja dan Sermani. Jika pemerintah kota ingin melihat Kota Makassar lebih berkeadilan terhadap lingkungan hidup dan masyarakatnya, sederhana saja menurut teman-teman di Walhi, yang pertama pemerintah harus menjalankan dengan tegas amanah undang-undang, yang pertama UU Tata Ruang yang memandatkan 30% Ruang Terbuka Hijau (RTH) dari total luas Kota Makassar. Yang kedua terkait soal AMDAL yang betul-betul ditegakkan dan tidak hanya menjadi syarat formal semata, paling tidak ada tindakan tegas ketika para pengusaha industri melakukan pelannggaran.

Jika pemerintah tidak melakukan pembenahan lingkungan seperti pertambahan RTH juga daerah resapan air, ditambah pengaruh iklim global yang mulai tidak seimbang, akan terjadi bencana ekologis seperti banjir besar dan berkurangnya ketersediaan air bersih untuk warga kota menjadi ancaman nyata


Apakah kebijakan pembangunan Kota Makassar yang ingin tumbuh menjadi kota dunia modern telah selaras dengan kelestarian ekologi kota yang sehat?
Menurut saya ini tidak selaras karena pertama, konversi wilayah resapan air banyak terjadi untuk membangun perumahan dan ruko-ruko. Kedua pemenuhan RTH yang masih sangat jauh dari amanah Undang-Undang yang harus 30% dari total luas kota. Yang terakhir yaitu pemerintah tidak pernah mengumumkan kepada publik luas mengenai wilayah mana saja yang termasuk RTH di Kota Makassar, jadi ketika ada alih fungsi di situ maka akan memunculkan resistensi dari publik.

Mengenai Ruang Terbuka Hijau, untuk kondisinya sekarang, berapa besar yang Kota Makassar butuhkan?
Kota Makassar membutuhkan sedikitnya 5 ribu hektar Ruang Terbuka Hijau dari total luas kota sebesar 175 km2 atau 30% dari total luas kota, sesuai dengan amanah UU No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang Kota. Jika dilihat kondisi sekarang ruang terbuka hijau tidak cukup sampai 10%, sangat kurang jika mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Hal ini kian diperparah oleh alih fungsi beberapa RTH seperti Lapangan Karebosi yang telah direnovasi dan dibangun pusat perbelanjaan di dalamnya sehingga mengurangi daya resap air ke dalam tanah secara signifikan. Karebosi juga berperan vital untuk menetralisir intrusi air laut mengingat posisinya yang hanya beberapa ratus meter dari bibir pantai kota Makassar.

Setiap kali musim hujan tiba, beberapa titik di kota Makassar sering mengalami musibah banjir, menurut Anda mengapa hal ini bisa terjadi?
Hal ini disebabkan karena daerah resapan air yang makin berkurang dan sistem drainase yang tidak tertata rapi, seperti mampetnya dan kurangnya got, serta menumpuknya sampah terutama wilayah kecamatan yang ada di pesisir kota. Dalam hal ini lalulintas air yang menuju ke laut menjadi tersumbat oleh sampah, hal ini tidak hanya mengakibatkan banjir, tetapi juga menimbulkan dampak buruk seperti berbagai jenis penyakit dan polusi udara berupa bau tak sedap.

Rawa gambut yang berfungsi sebagai wilayah resapan air di kota ini telah banyak di konversi menjadi pemukiman dan berbagai peruntukan lainnya, apakah ini sudah telah layak atau selaras dengan pelestarian kondisi ekologi kota?
Seperti yang sudah saya ungkapkan tadi, tidak ada identifikasi dan ketetapan yang jelas dari pemerintah kota tentang RTH dalam hal ini daerah resapan air sehingga penegakan aturan hukum menjadi sangat lemah. Perlu juga kiranya pemerintah kota mengeluarkan aturan atau regulasi yang jelas, sehingga terjadi jika konversi sepihak maka ada aturan hukum yang mampu menjerat pelakunya.

Selain menyerap air, rawa gambut juga berfungsi menyerap panas ketika musim kering tiba guna menjaga suhu udara agar tetap nyaman, apakah suhu udara kota Makassar yang makin terasa panas berkaitan dengan makin berkurang lahan rawa gambut di kota ini?
Iya berkaitan erat, selain itu hal ini juga disebabkan oleh berkurangnya RTH seperti taman kota, hutan kota, jalur hijau bahkan kompleks kuburan dapat dikategorikan RTH jika ditata dengan baik.

Hasil penelitian banyak akademisi, mengkategorikan wilayah Pantai Losari dalam keadaan tercemar berat oleh logam berat, menurut Anda mengapa hal ini bisa terjadi? Apa penyebabnya?
Di pesisir Makassar itu banyak terdapat industri seperti di wilayah Somba Opu ada industri pengolahan emas yang memakai air raksa dalam proses produksinya. Proses pembuangan limbahnya pun tidak jelas apakah dibuang ke selokan atau di tempat lain. Selain itu, limbah industri perhotelan di sekitar pantai berupa limbah cair juga tidak jelas bagaimana proses pembuangannya diduga ini menjadi penyebab pencemaran ini. Sebenarnya UU PPLH No. 32 2009 yang mengatur standar baku mutu pembangunan limbah sudah ada tetapi peraturan pemerintahnya belum ada dalam hal ini aturan hukum yang bersifat teknis perlu dibuatkan.

Jika melihat master plan tata ruang Kota Makassar apakah kebijakan ini telah mempertimbangan dampak ekologis bagi perkembangan kota?
Master Plan ini juga cuma sepintas saya lihat dan hanya wilayah pesisir yang sempat saya perhatikan. Untuk wilayah pesisir ada proyek raksasa berupa perluasan pelabuhan yang dilakukam oleh PT. Pelindo dengan melakukan reklamasi pantai seluas 250 hektar. Proyek raksasa ini tentunya akan merubah wajah Kota Makassar ke depannya.

Apa rekomendasi Anda bagi aparat terkait agar Kota Makassar tetap nyaman dan kondisi lingkungannya tetap terjaga?
Yang pertama, pemerintah harus lebih sering melakukan penyadaran kepada publik akan arti pentingnya menjaga keseimbangan dan keberlangsungan lingkungan kota. Kedua, pemkot juga harus melakukan inventarisasi wilayah-wilayah yang termasuk sebagai Ruang Terbuka Hijau melakukan penegakan hukum yang tegas jika ada pelanggaran. Terakhir pemerintah harus mengatur regulasi kendaraan bermotor yang ada di Makassar yang menyumbang polusi udara yang cukup besar. Harus bisa ditekan jumlahnya dan menggiatkan transportasi umum massal yang ramah lingkungan.

Jika melihat kondisi ini, apa penyebab utama semua kerusakan lingkungan di Kota Makassar? Siapa yang patut bertanggung jawab dalam hal ini?
Penyebab utamanya adalah kebjiakan dari pemerintah kota yang kurang memperhatikan kondisi ekologi kota. Dalam menyusun kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kondis perkotaan baiknya pemerintah perlu melakukan kajian strategis dampak lingkungannya, artinya ada kajian bagi sebuah kawasan. Pemerintah juga harus melakukan upaya-upaya penyadaran atau edukasi bagi publik Makassar dalam hal menjaga keseimbangan kondisi ekologis kota.

Apakah mungkin membangun Kota Makassar menjadi kota dunia tanpa merusak lingkungan?
Tergantung perspektifnya dulu, jika parameternya adalah pembangunan mega struktur seperti mengambil acuan dubai harus mengatur secara ketat tentang kajian lingkungan hidup strategis melalui peraturan pemerintah dalam hal pembangunan. Ini sangat perlu untuk kelangsungan lingkungan kota.

Jika keadaan ini terus berlangsung, kondisi seperti apa yang mungkin bisa terjadi pada kota ini? Apakah bencana ekologis adalah ancaman nyata bagi kota ini?
Seiring dengan pertambahan populasi oleh banyaknya kaum urban, otomatis pemerintah harus memberikan ruang-ruang yang lebih dan menatanya agar tetap seimbang dengan alam. Jika pemerintah tidak melakukan pembenahan lingkungan seperti pertambahan RTH juga daerah resapan air, ditambah pengaruh iklim global yang mulai tidak seimbang, akan terjadi bencana ekologis seperti banjir besar dan berkurangnya ketersediaan air bersih untuk warga kota menjadi ancaman nyata. Bencana ekologis ini tentunya akan merangsang terjadinya bencana sosial seperti wabah penyakit dan lain-lain. (V)

[Wawancara majalah versi.com]